“Muda kaya raya, tua bahagia”

Ungkapan ini banyak diutarakan untuk mengungkapkan hidup ideal yang diimpikan banyak orang. Bagi Wempy Dyocta Koto, setengah bagian awal dari ungkapan ini telah berhasil ia penuhi. Di usia sangat muda dan masih berstatus sebagai mahasiswa, ia telah bekerja sebagai Brand Communication pada perusahaan financial service American Express dan menerima gaji sekitar Rp 300 juta per tahun. Sebuah angka yang luar biasa untuk ukuran 20 tahun lalu. Apakah ia lantas merasa bahagia? Justru sebaliknya, Wempy merasa depresi.

“Apa lagi yang mau saya cari,” ujar pria kelahiran 14 Oktober 1976 ini pada sebuah wawancara dengan media. Meski memiliki aset properti senilai sejuta dolar ketika itu, ia merasa kosong. Kesuksesan yang rasanya datang terlalu mudah membuatnya merasa kehilangan tujuan hidup. Sekitar umur 21-24 tahun, ia merasa mengalami midlife crisis.

“Ketika itu saya sudah nggak punya cita-cita lagi, semua kekayaan dicapai terlalu muda, dan itu jadi masalah besar,” ujar Wempy. Ia tersadar, manusia harus memiliki mimpi dan cita-cita dalam menjalankan hidupnya. Menurutnya, kegagalan terbesar manusia adalah ketika mereka tak memiliki tujuan hidup. Dari sini, putra kelahiran Padang Panjang yang dibesarkan di Australia ini kembali bangkit dari keterpurukan emosional.

Setelah lulus dari kuliahnya, University of Technology Sydney, bungsu dari tiga besaudara ini mendapatkan beasiswa magister dari perusahaan tempatnya bekerja. Ia lantas menyelesaikan gelar Master di usia sangat muda, di awal 20-an.

Dari sini, karirnya terus melesat, termasuk bekerja di perusahaan advertising dan komunikasi WPP Group, yakni OgilvyOne WorldWide dan Young & Rubicam Brands. Di sini, ia memegang sejumlah brand internasional seperti Citigroup, Microsoft, LG dan Samsung. Tuntutan pekerjaan, membuatnya kerap berpindah tempat tinggal di sejumlah kota besar dunia seperti Singapura, Hong Kong, London, San Fransisco dan New York.

Di San Fransisco, Wempy bertemu dengan Baz, enterpreuneur yang menyewa kantor yang letaknya dekat dengan kantor Wempy. Ia sering melihat kenalannya ini kesulitan membayar sewa apartemennya sendiri, namun ia terus terlihat bersemangat. Baz inilah yang menginspirasi Wempy untuk mendirikan perusahaan sendiri.

“Dia bilang kamu sudah 12 tahun kerja di bidang marketing advertising dan komunikasi kok belum buka perusahaan sendiri. Awalnya saya cueki, tapi lama-lama kepikiran juga,” ujar Wempy

Karena terus terpikir mengenai gagasan ini, pada 2009 Wempy akhirnya mengajukan surat resign pada atasannya, namun ditolak. Atasannya berpikir ide Wempy ini gila, mengingat kala itu dunia tengah dihempas oleh krisis ekonomi global.

Tak menyerah, delapan bulan kemudian Wempy kembali mengajukan pengunduran diri, yang kali ini diterima oleh sang atasan. Ia, mendirikan perusahaan konsultannya sendiri, Wardour and Oxford, yang namanya diambil dari nama jalan tempat kantor ini berdiri. Uniknya, mantan atasannya di WPP Group adalah klien pertamanya. Pelan tapi pasti, perusahaannya terus melaju. Kliennya tersebar di Inggris, Timur Tengah, Australia, Eropa, dan Amerika, dan banyak di antaranya yang merupakan perusahaan dalam daftar Fortune 1000.

Tak hanya itu, ia juga mendapat sejumlah penghargaan seperti Most Promising Entrepreneur dalam Asia Pacific Entrepreneurship Awards tahun 2013 dan The World’s Ultimate ‘Social’ Chief Executive Officers dari sebuah agensi komunikasi asal Kanada, Strategic Objective.

Lama dibesarkan di negeri orang, Wempy tak lupa pada tanah kelahirannya, Indonesia. Meski dilahirkan di Indonesia, ia memang telah pindah ke Australia sejak sekolah dasar. Baru pad 1997, ia ‘mencicipi’ budaya Indonesia setelah mendapat beasiswa kuliah selama satu tahun di Universitas Indonesia.

Wempy yang kala itu tak fasih berbahasa Indonesia, memang sempat mengalami gegar budaya. Namun setelahnya, ia malah kepincut suasana dan tradisi kebersamaan di Indonesia. ”Saya merasa inilah akar saya,” ujar pria yang masuk dalam daftar ‘40 Under 40’ Fortune Indonesia ini.

Salah satu bentuk apresiasinya atas tanah airnya ini, ia kemudian ikut terjun menangani sejumlah merk lokal Indonesia go international sejak tahun 2010-an. Beberapa di antaranya adalah Kebab Turki Baba Rafi, Ayam Bakar Mas Mono, Sour Sally, Piramizza dan Bebek Garang.

Tak hanya itu, tahun lalu ia juga meluncurkan The Wempy Dyocta Koto Award. Dalam penghargaan ini, 12 warga Indonesia terpilih akan dibimbing oleh 12 tokoh Indonesia dan 12 mentor internasional. Sejumlah mentor yang terlibat antara lain Putri Reema Binti Bandar Al-Saud dari Keluarga Kerajaan Arab, CEO Saratoga Capital Sandiaga Uno, CEO Tokopedia William Tanuwijaya, Pendiri Tangan Di Atas Badroni Yuzirman serta aktor dan CEO Gerai Hawa Teuku Wisnu.

The Wempy Dyocta Koto Award adalah tanda cinta saya untuk Indonesia, negara di mana saya lahir dan merupakan kewarganegaraan saya,” ujarnya. Dengan penghargaan ini, Wempy menunjukkan, bahwa keberhasilan bukan hanya hasil akhir, tapi juga kebahagiaan saat menjalankan prosesnya.

Baca Juga :

Marzuki “Kill The DJ” Banting Setir Jadi Petani Demi Kampung Halaman
Sosok Di Balik Popularitas Wisata Indonesia Timur
Modal Rp200 Ribu Antar Theresia Deka Putri Jadi Pengusaha Beromzet Miliaran