Sudah hampir tiga bulan lamanya, ribuan hektare hutan yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia terbakar. Sebagian besar di Sumatera dan Kalimantan. Beberapa karena pembakaran liar, lainnya terbakar sebab musim kemarau yang tak juga kunjung usai. Gumpalan asap yang semakin pekat membuat aktivitas perekonomian masyarakat lumpuh, penerbangan di bandara terganggu, sekolah terpaksa diliburkan, serta puluhan ribu warga terserang infeksi saluran pernapasan akut.
Untuk memadamkan api, ribuan relawan asap pun masuk ke hutan. Mereka rela mempertaruhkan nyawa, agar si jago merah jinak dan udara kembali bersih. Berjibaku di antara semak belukar, asap pekat, dan titik-titik api, hampir semua relawan adalah lelaki. Tapi di antara keperkasaan para pria, ada pula seorang gadis belia, yang usianya baru menginjak 19 tahun. Ia adalah Intan Syafrini Fazrianti.
Jika sebagian besar remaja putri memilih jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, Intan malah tergugah rasa kepedulian sosialnya. Mahasiswi semester tiga di Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta ini lebih memilih bergabung dengan laskar Sekolah Relawan asal Bogor, pimpinan Gaw Bayu Gawtama. Bahkan ia berani turun langsung ke lokasi kebakaran sebagai relawan. Meski nyawa menjadi taruhannya.
Baca juga: Johan dan Raechanah, Berlari di Atas Kursi Roda
Sejak 28 Oktober hingga 4 November, Intan bergulat memadamkan api di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah. Bersama kelompoknya, ia membantu komunitas Jumpun Pambelom pimpinan Januminro di Palangkaraya. Tugas utama mereka adalah membuat sumur bor sebagai sumber air untuk memadamkan api.
“Dari awal pemberitaan asap muncul, saya selalu ikuti perkembangannya. Sampai akhirnya, tersiar kabar hanya tersisa lima persen lagi udara di sana yang bersih,” kata Intan, seperti yang dikutip Kompas.com.
Ia sendiri merasa tak nyaman menunjukkan kepedulian hanya dengan berkicau di Twitter atau mengumbar status di Facebook sambil asyik menyeruput jus atau cappuccino di kantin kampusnya. Hingga ia membulatkan tekad untuk berangkat ke Kalimantan.
Intan sebenarnya memiliki tugas utama memotret kondisi di lokasi kebakaran. Tapi dia tak ingin mendapatkan perlakuan istimewa hanya karena perempuan. Ia rela belepotan lumpur menancapkan pipa untuk membuat sumur, juga membantu membawa dan membersihkan selang, yang beratnya rata-rata 15 kilogram per gulung. Bahkan pagi hari, sebelum menuju bandara untuk kembali ke Jakarta, ia ikut menyemprotkan air guna memadamkan api yang kembali membara di sana. Dia bahu-membahu bersama puluhan personel TNI.
Baca juga: Pahlawan Kehidupan dari Lereng Gunung Gendol
“Kalau orang tua menelepon, aku akan merespons seolah lagi di kampus. Kalau tahu aku jadi relawan di Kalimantan, mereka pasti syok berat,” ujar Intan. “Soalnya, aku juga punya masalah pernapasan. Tapi, alhamdulillah, selama di Palangkaraya, enggak sampai kambuh.”
Di Tumbang Nusa, Intan bergabung dengan belasan relawan lainnya. Mereka berasal dari berbagai daerah dengan bermacam latar belakang. Ada guru, mahasiswa tingkat akhir, karyawan, dan lainnya. Intan sendiri bukan satu-satunya remaja yang menjadi relawan di sana. Daniel, 15 tahun, menjadi relawan termuda dalam kelompok Jumpun Pambelom.
Sejak lulus SMP, Daniel memantapkan langkah mengikuti jejak ayahnya, Gunawan, 60 tahun. Kebetulan, Gunawan adalah anggota Jumpun Pambelom. Di kelompok itu, Daniel bertugas mengemudi motor untuk membawa selang air dan mesin sedot air, penggali sumur bor. Selain itu, tentu saja ikut memadamkan api.
Baca Cerita LoveLife lainnya di sini.
Menurut cerita sesama relawan, Daniel kerap diandalkan untuk memanjat pohon. Sebab dengan tubuhnya yang kecil nan lincah, dia mampu mencapai ujung kayu yang tinggi untuk memadamkan api. Bahkan Daniel sempat diminta menyelamatkan orang utan di atas pohon.
Meski baru lulus SMP beberapa bulan lalu, Daniel belum memikirkan untuk melanjutkan pendidikannya ke SMA. Karena kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Dia pun tidak memaksa kedua orang tuanya untuk membiayai sekolahnya.
Beda halnya ketika ia ditanya soal apakah ingin tetap jadi relawan, Daniel dengan antusias menjawab ya. Bahkan, dia ingin mengikuti pembekalan di mana saja agar menjadi relawan yang serba bisa. Alasannya, untuk menolong sesama di kala bencana datang.